mangapul.jpg

Menemukan Kembali Potensi Terbaik Kita[1]

Oleh

Mangapul L. Nababan  [2]

 Pada satu kesempatan, yakni sebagai salah satu peserta seminar mengenai bencana alam, saya dan peserta seminar lainnya diundang acara makan malam di Kraton Yogya beberapa waktu yang lalu, saya terkesima (baca: shock) ketika berbincang (dengan bahasa Inggris pas-pasan) dengan seorang perwakilan salah  institusi pendidikan dari Thailand (beliau lulusan Univ. Of Pittsburgh). Pasalnya, mereka sedang ‘membuka cabang’ di ITB. Anda bisa mengatakan itu bentuk kerjasama, namun bagi saya itu suatu ekspansi SDM. Globalisasi SDM yang mungkin bagi orang awam seperti kita masih belum ter-ekspose, saat itu sangat nyata bagi saya.

 Saya tidak akan membahas mengenai kekurangan penyelenggaraan pendidikan di pihak institusi kita, namun paling tidak upaya suatu negara Asia Tenggara seperti ini sangat memukul pencapaian pendidikan kita. Mungkin diantara kita banyak yang tau  di era 70-80an dulu Malaysia selalu mengirimkan warganya untuk belajar di Indonesia, namun di era sekarang, mahasiswa Indonesia sudah mengambil S2 atau bahkan S3 ke negara Malaysia dan Thailand. Ditambah gambaran lain tatkala kita melihat berbagai spanduk di jalan-jalan Jakarta yang memuat iklan penerimaan mahasiswa di salah satu universitas swasta dengan embel-embel sandwich program dengan salah satu universitas/institut negeri. Saya tidak akan mengklaim PTN lebih baik dibanding PTS, namun angka bahwa hampir 400.000-an siswa SMA yang ikut bersaing dalam SPMB setiap tahun menunjukkan SDM (baca:generasi muda) terbaik bangsa kita terserap paling banyak di PTN.

 Hal lain yang menyedihkan adalah bahwa hingga kini upaya kita mengirimkan mahasiswa bahkan mungkin tenaga pengajar yang berkualitas tinggi untuk ‘mencuri ilmu’ ke luar negeri ternyata tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan kita, yang bahkan untuk regional Asia Tenggara saja kita masih kalah. Ini hanya sebagian fakta yang terjadi di salah satu sektor di negara kita. Jika berbicara lebih luas lagi, kualitas pelayanan kesehatan, industri, IT dan sebagainya kita sangat jauh di bawah.

 Saya sangat maklum jika Presiden SBY, dalam suatu lawatannya ke luar negeri dan bertemu dengan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di sana, secara realistis mengatakan supaya para mahasiswa di sana jangan terpaku kepada nasionalisme sempit. Dalam artian jika sudah sekolah di luar negeri harus kembali bekerja di Indonesia. Beliau secara rendah hati mengatakan: ’bekerjalah dimana saja, tetapi jika bangsa memerlukan, pulanglah untuk ikut membangun bangsa’.

 Maklum, namun saya tidak sepenuhnya setuju. Ilustrasi berikut mungkin bisa menjadi pertimbangan kita. RRT (China) sebelum mencapai  perkembangannya saat ini beberapa dekade lalu mengirimkan ribuan mahasiswanya setiap tahun untuk belajar S3 di negara-negara maju seluruh dunia, bahkan ratusan belajar ke Jepang. Jumlah mahasiswa Indonesia sendiri sangat sedikit. Dan mereka rata-rata pulang semua membangun China hingga bisa sebesar sekarang ini dengan pertumbuhan ekonomi di atas 10% setahun yang berarti dalam 10 tahun ekonomi China tumbuh 2 kali lipat. Tak heran jika China menjadi negara ‘rakus’ energi saat ini untuk memenuhi kebutuhan industrinya. [3]

 Untuk dapat dijadikan gambaran data tahun 2004 menunjukkan tahun 2003 sebanyak 57 persen mahasiswa asing di Amerika berasal dari Asia, 62 ribu dari Cina, 80 ribu dari India, 52.500 dari Korea Selatan, 41 ribu dari Jepang, 26 ribu dari Taiwan, 9 ribu dari Thailand dan hanya 8.900 dari Indonesia[4].

 Peran Kaum Intelektual

 Sejarah mencatat, suatu bangsa moderen sangat sulit berubah jika perubahan tersebut tidak berasal dari golongan menengah ke atas (dalam hal ini kalangan intelektual). Bahkan dalam sejarah bangsa kita, Mohammad Hatta dkk dan beberapa mahasiswa asal Indonesia lainnya telah mendirikan “Perhimpunan Mahasiswa Indonesia” pada tahun 1924 di negeri Belanda, setelah sebelumnya aktif di “Indische Vereeniging”[5]. Mereka memupuk rasa kebangsaan Indonesia dari tempat mereka belajar pada waktu itu dengan mengadakan diskusi-diskusi, mengasah nalar dan daya analisa, serta mempertajam sensitifitas pada masalah-masalah yang terjadi di tanah air serta di dunia pada umumnya.

 Di jaman revolusi tahun 1966, kita bisa baca cerita Soe Hok Gie[6] yang mencatat bahwa pergerakan mahasiswa pada umumnya berawal dari diskusi-diskusi substansial keilmuan dan akhirnya masuk ke masalah politik di kampus. Hal ini terjadi secara alamiah bahkan meski menjadi underground movement, diskusi tetap berlangsung secara serial. Jujur saja, sulit untuk mencari pembanding hal tersebut saat ini, karena bahkan di jurusan-jurusan yang termasuk ilmu-ilmu sosial, forum-forum diskusi spontan sudah sangat jarang terjadi kecuali karena tuntutan tugas.

 Ada moment yang menohok jika dalam suatu acara, saya sangat jarang melihat kaum intelektual batak berperan penting (kecuali mungkin dalam kancah politik). Dengan trend masih jarangnya Paryasop yang mencoba berjuang untuk sekolah lagi, harapan munculnya expert dari Paryasop di masa depan terasa sangat minim. Hal ini dilihat dari kenyataan sebagian besar kita bekerja dan mengejar untuk bisa bekerja di perusahaan-perusahaan terutama MNC yang secara ’rakus’ menyerap lulusan terbaik kita dan meninggalkan ’sisanya’ untuk berkiprah di perusahaan dalam negeri, dan selebihnya mencoba peruntungan menjadi birokrat. Disadari, untuk melawan mainstreaming ini sama saja dengan melawan arus globalisasi dan kapitalis. Meski demikian, saya mensyukuri akhir-akhir ini sudah ada beberapa alumni yang memilih sekolah go internasional sebagai investasi masa depan dan kita tunggu kiprah mereka untuk bangsa ini.

 Faktor yang sangat berperan untuk hal ini tentu saja faktor anggaran penelitian (dalam segala bidang) kita yang relatif sangat minim dan mind set ’beli teknologi’ kita yang masih sulit untuk diubah. Pada APBN 2006, LIPI (2007) mencatat anggaran untuk ristek hanya di bawah 0,2 persen.

 Saya mungkin bisa memberikan ilustrasi lagi betapa pentingnya suatu ’investasi’ SDM dan riset, yang tidak saja diperlukan dalam dunia usaha untuk penyempurnaan suatu produk, tetapi juga untuk kepentingan yang lebih luas (masyarakat). Salah satu contoh adalah dalam masalah penanganan bencana seperti yang akhir-akhir ini sering dialami bangsa kita. Saya mencoba mengutip keterangan berikut:

 Pada tahun 1950-an usai tsunami, Jepang sudah bisa memprediksi berapa menit setelah gempa bumi tsunami akan terjadi. Pada waktu itu, waktu yang dibutuhkan kira-kira 20 menit setelah gempa bumi. Bagaimana dengan saat ini ? Saat ini hanya butuh waktu 3 menit untuk memprediksi tsunami setelah gempa terjadi. Ini berarti dari pusat gempa dan jarak laut ke pantai kira-kira membutuhkan waktu 10 menit gerakan air tsunami sampai ke daratan. Dengan demikian penduduk pantai Jepang memiliki waktu 6 atau 7 menit untuk bisa menyelamatkan diri dari tsunami.(Badrun, 2006)

Saya membayangkan, dampak kerusakan akibat gempa dan tsunami yang sering melanda Jepang ’memaksa’ mereka untuk mengerahkan seluruh resources baik SDM maupun segala kepentingan riset (dan tentu saja dana yang besar) untuk memecahkan hal tersebut. Teknologi yang semakin berkembang dapat menghemat waktu sekitar 17 menit sebelum tsunami, sehingga penduduk punya waktu lebih banyak untuk menyelamatkan diri. Teknologi sudah tercipta, tinggal menjual ke negara yang membutuhkan seperti Indonesia saat ini.

 
Dimana peran Paryasop?

  Maaf jika agak arogan, tetapi siapa yang masih meragukan intelektualitas Paryasop? Jangan dulu lihat dari sisi EQ, namun saya mungkin bisa ambil contoh kasus. Dalam suatu papan pengumuman beberapa tahun lalu di suatu kampus, ada pengumuman seleksi dosen dimana selain mempertimbangkan pencapaian akademis, syarat mutlak lain adalah IQ > 120. Meski belum ada data otentik, Alumni Paryasop saya yakini lebih 50% memiliki IQ > 120. Artinya adalah, Paryasop merupakan suatu kumpulan manusia dengan potensi intelektual yang tinggi. Namun izinkan saya mengubah tagline suatu film fiksi Marvel, menjadi ‘dari intelektual yang tinggi, muncul tanggung jawab yang tinggi’.

 Melalui tulisan ini saya menantang alumni agar tidak ‘terlalu cepat puas’ dengan pencapaian finansial semu seperti yang dijanjikan oleh buku-buku ’seri pengen kaya mendadak’. It’s just like ‘a promise in the year of election’[7]. Hal ini mungkin perlu direnungkan terutama buat alumni yang secara akademis memiliki catatan mengagumkan dan masih fresh graduate. Mungkin ada trend umum, dimana setelah lulus kuliah, sebagai perantau, kita ingin sesegera mungkin bekerja, menikmati penghasilan sendiri dan berbagai previlege lainnya. Ini memang pilihan, namun saya percaya, banyak potensi di Paryasop yang terpendam selain menjadi employee, antara lain sebagai researcher, expert dan creator ulung. Untuk masuk ke ranah ini, sangat sulit mendapatkannya jika bekerja di sektor swasta saat ini mengingat investor masuk ke negara kita sebagian besar hanya karena pertimbangan: kaya minyak dan rendah rate SDM. Dengan kata lain, belum banyak perusahaan swasta yang punya dedikasi tinggi untuk bangsa. Sebagian besar masih bermental ‘proyek’ dan makelar. Tentu ini tantangan bagi para alumni yang terjun di bidang entrepreneur.

 Saya termasuk orang yang percaya kalau kapabilitas seseorang tidak selalu diukur dengan ’bersekolah lagi’, saya lebih percaya ke peningkatan kapasitas individual seperti training dan hal-hal lain yang pernah diutarakan Bung Natal’2000 di milis sebagai soft skil[8]l. Namun tetap ada kerinduan melihat Alumni Paryasop mengisi pos-pos yang membutuhkan tingkat intelektual dan memang ’berbakat’ menjadi expert di bidangnya. Sayang kan, kecerdasan sebesar itu hanya digunakan untuk tanggung jawab yang relatif sederhana.

 Perjuangan berat mungkin telah kita sama lalui sewaktu berjuang menembus UMPTN dulu (sekarang SPMB). Saya percaya banyak orang-orang luar biasa yang muncul bahkan ’melegenda’ di era angkatannya terutama pada masa perjuangan tersebut, namun sayang sekali, saya jarang melihat orang-orang tersebut berjuang kembali di jalur riset. Malah banyak yang menganggap kuliah beberapa tahun itu hanya upaya mendapat suatu ’SIM’ untuk bekerja entah di bidang apa. Beberapa mungkin terbentur masalah tuntutan harus cepat kerja, atau mungkin hanyut dalam mainstreaming ’mengejar salary’ setinggi-tingginya. Mungkin banyak juga bercita-cita menjadi enterpreneur dulu, sukses, kemudian nanti terjun di politik untuk membangun bangsa.

 Bukan menggurui, jadi silahkan temukan sendiri potensi akademik kita yang mungkin selama ini bukan merupakan faktor utama kita mendapatkan pekerjaan. Atau mungkin kita harus kembali introspeksi lagi, selama ini kita bekerja buat siapa? Jangan-jangan hanya buat diri kita sendiri.

 Penutup

 Bukan karena adanya sentimen pribadi terhadap pelayanan PLN akhir-akhir ini di Sumut dsk, beberapa bulan lalu saya terkesan dengan paparan seorang Doktor lulusan Jepang yang dalam suatu seminar yang kebetulan saya hadiri, dengan keras mengecam rencana Pemerintah membangun instalasi nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria. Terlalu detail jika saya uraikan disini, namun saya sangat terkesan, karena beliau (seorang warga keturunan), dengan data yang akurat dan perhitungan seksama, sangat mendorong pengembangan energi alternatif seperti panas bumi, arus laut, bahkan kincir angin untuk mikro energi. Dikatakan bahwa pengembangan instalasi nuklir sebagai energi alternatif masa depan sangat boros investasi, hanya mampu bertahan memenuhi kebutuhan energi selama kurun waktu yang pendek, butuh investasi eksplorasi yang mahal untuk mengumpulkan kandungan uranium di daerah seperti pedalaman Kalimantan dan satu lagi, memaksa kita untuk selalu tergantung membeli bahan baku uranium dari negara lain mengingat kandungan uranium kita sebenarnya jauh dari memadai. Mental ’beli teknologi’ terasa kental dalam pandangan beliau. Ironisnya, beliau adalah Doktor Ahli Nuklir, yang sama sekali tidak tersentuh interest untuk turut mengembangkan nuklir di Indonesia.

 Saya memimpikan suatu saat seorang Alumni Paryasop dapat bicara profesional seperti itu di masa depan. Baik dalam forum sektor publik, di suatu perusahaan ternama atau bahkan dalam forum akademik. Mungkin 10 tahun, 20 tahun lagi, mengapa tidak?

Tetap bekerja, kawan-kawan…!

 
…Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa ..(Karawang-Bekasi, Chairil Anwar)

 


[1] Tulisan khusus untuk penerbitan Bulletin PODA oleh Paryasop. Hanya untuk kalangan sendiri.

[2] Angkatan 1996, berdomisili di Jakarta, bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen PU email: (apul_6@yahoo.com)

[3] Pada 2006, PDB RRT mencapai US$ 2,68 triliun dengan laju pertumbuhan ekonomi 10,7%, cadangan devisa US$ 1,066 triliun, dan inflasi 1,5%. Bahkan, per kuartal I-2007, cadangan devisa melampaui US$ 1,2 triliun. Tahun ini, laju pertumbuhan Negeri Tirai Bambu itu masih dua digit. (investor daily, Juni 2007)

[7]  Desire, U2

[8] Pernah menjadi topic hangat di milis alumni_yasop.


1. Tulisan khusus untuk penerbitan Bulletin PODA oleh Paryasop. Hanya untuk kalangan sendiri.

2. Angkatan 1996, berdomisili di Jakarta, bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen PU email: (apul_6@yahoo.com)

3. Pada 2006, PDB RRT mencapai US$ 2,68 triliun dengan laju pertumbuhan ekonomi 10,7%, cadangan devisa US$ 1,066 triliun, dan inflasi 1,5%. Bahkan, per kuartal I-2007, cadangan devisa melampaui US$ 1,2 triliun. Tahun ini, laju pertumbuhan Negeri Tirai Bambu itu masih dua digit. (investor daily, Juni 2007)

4. http://www.voanews.com

5. http://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Hatta

6. Catatan Seorang Demonstran (1983).

7. Desire, U2

8. Pernah menjadi topik hangat di milis alumni_yasop

 

7 Responses to “Menemukan Kembali Potensi Terbaik Kita (Mangapul L. Nababan)”

  1. anastasia78 Says:

    == banyak potensi di Paryasop yang terpendam selain menjadi employee, antara lain sebagai researcher, expert dan creator ulung. Untuk masuk ke ranah ini, sangat sulit mendapatkannya jika bekerja di sektor swasta saat ini mengingat investor masuk ke negara kita sebagian besar hanya karena pertimbangan: ==

    Salah satu potensi paryasop juga adalah tidak menunggu masuknya investor dari luar negeri ato nungguin hot money, melainkan mampu menjadi the ultimate investor (yg definisnya mengacu pd buku Robert T. Kiyosaki).

    == Sebagian besar masih bermental ‘proyek’ dan makelar. Tentu ini tantangan bagi para alumni yang terjun di bidang entrepreneur. ==

    Apa definisi makelar pd kalimat di atas? Perantara? Broker? Sales? Marketing? Hmm…. imho, ga bisa jd entrepreneur tanpa menguasai ilmu ini. Just dunt underestimate.

  2. Apul96 Says:

    Thanks for the comment Nazt..Teman pertama yg ngasih komen utk tulisanku…Thanks untuk kritiknya…

    Setuju untuk komentarmu yang pertama ttg potensi ini.

    Yang kedua, aku tidak meremehkan peran broker.. dan makelar…tapi jika setelah dapet proyek besar trus license-nya di agunkan ke bank atau dijual ke orang lain..? Kapan perusahaan/entrepreneur kita maju..? Underline that.

    ORI kita 80% dikuasai asing…perusahaan2 kebanyakan diakusisi asing. Paryasop jg kalo mau serius terjun ke entrepreneurship ini harus jelas core businessnya…jalan masih panjang dan ini debatable..

    Robert T K..? Sorry I never read his books..maybe i will.
    Thanks anyway..

  3. Joli S Says:

    dibaca generasi muda alumni yasop ga tulisan abang ini yah?

    ==Saya termasuk orang yang percaya kalau kapabilitas seseorang tidak selalu diukur dengan ’bersekolah lagi’,==

    ada beberapa hal yang bisa kita jadikan parameter kapabilitas seseorang dalam dunia persilatan ini,

    1.uang,
    beruntunglah anak yang punya bapak orang kaya, warisan melimpah,

    2.people power
    mencoba menjadi motor penggerak masyarakat, melakukan sesuatu di masyarakat, non-profit sih, lagian sebuah profesi yang tidak populer…

    3.karya
    jika point 1. masih merupakan mimpi di siang bolong, masuk ke point 2. ternyata ga ada juga orang yang bisa diajak berkompromi, satu visi, bergerak bersama, barulah ke point 3. karya, menjadi jawaban…

    kalo ketiga point diatas tak ada satupun yang bisa kita raih, keknya perlu instropeksi diri kita, dan berdoa banyak2 agar kalo besok tiba-tiba mati masuk surga.

    hehehe


  4. Ini blog kenapa sepi banget dari visitor ato komentator yah? Padahal paryasop khan banyak banget…

  5. BelmlarYTer Says:

    Hi,

    I need full kit of solar energy complect for my home, Where I can look at thechnical specifications and examples? We search on internet and not find this. 😦 Please if you have some instruction please post.


  6. […] Menemukan Kembali Potensi Terbaik Kita[1] […]

  7. Josep Franklin Sihite Says:

    Tulisan yang sangat menarik.

    Alumni Yasop, memiliki potensi yang sangat besar dan saat ini tentu berkarya di banyak bidang. setiap bidang tentulah sangat perlu, ibarat tubuh manusia setiap bagian ada perannya. maka lebih indah memang kalau alumni yasop itu ada dimana mana, ibarat pelangi akan berwarna-warni. dan suatu saat akan kita lihat peran penting alumni yasop diberbagai bidang. seperti yang tertulis di mukadimah AD/ART paryasop…..

Leave a reply to Apul96 Cancel reply